Foto : Pembukaan Lahan Perkebunan Sawit Di Nabire |
Sebelum jauh menjelaskan kerancuan yang terjadi terhadap
pelepasan tanah adat suku yerisiam, sekilas kami menjelaskan struktur suku
yerisiam. Dalam suku yerisiam terdapat empat suku yaitu: suku waoha, suku akaba, suku,
koroba, suku sarakwari.
Suku Waoha membawahi marga ( Hanebora, Money, Inggeruhi,
refasi ), Suku Akaba membawahi marga (Yarawobi, Waropen, henawi, yoweni), suku
sarakwari membawahi marga ( Akubar, nanaur, kowoi,), suku koroba membawahi(
rumirawi, maniburi marariampi, waremuna,)
Dalam tugas dan fungsi empat suku adalah menjaga dan
mengawasi batas-batas hukum adat sesuai garis hirarki kekuasaan guna kesejahtraan
marga-marga. Empat suku ini pada kakekatnya tidak berkuasa atas peyerahan/
pelepasan apalagi penjualan hak kekayaan yang melekat hak-hak komunal dengan mengatasnamakan
suku tanpa sepengetahuan kepala suku besar yerisiam/gua. Kewenangan dan
tanggung jawab kuasa berada di suku besar yerisiam setelah terjadi sebuah
musyawarah untuk mufakat. Suku yerisiam hingga abad 20 masih menganut system
komunal dalam menentukan hak-hak bersama yang dikuasakan oleh garis paternal.
Paham feodal hanya dijadikan sebagai sarana menghimpun, membimbing masyarakat
adat suku yerisiam tapi tidak memiliki otoritas feto. Hak feto hanya dignakan
saat situasi suku mengalami kondisi genting atau darurat.
Kerancuan Surat
Pelepasan:
Dalam penyerahan tanah 17. 000 hektar yang dilakukan atas
nama suku woha tidak melalui sebuah musyawara bersama hal yang terjadi adalah
orang-perorang. Lebih parah lagi surat pelepasan yang kemudian dijadikan
sebagai dasar dimasukannya perkebunan kelapa sawit tidak sesuai dengan isi dari
surat pelepasan;
Point 4 surat pelepasan (terlampir):
Berdasarkan transaksi serah trimah
pihak pertama selaku pewaris hak ulayat tanah adat telah menyerahkan areal
seluas 17. 000 Ha beserta potensi alam yang ada diatas areal tersebut kepada
pihak kedua dan pihak kedua berhak penuh untuk mengambil serta mengelola hasil,
berupa kayu merbau yang berada diatas tanah adat milik pihak pertama.
Dari point tersebuat diatas nyata bahwa penyerahan tanah
ulayat adat hanya untuk pengelolaan kayu merbau dan tidak diperuntukan untuk perkebunan
sawit. Penggunaan surat pelepasan (terlampir) kemudian dipergunakan oleh pihak
kedua dengan menjual/ atau menggadekan tanah tersebut kepada pihak perkebunan
sawit yang hingga kini belum jelas statusnya. Hal lain adalah proses pelepasan
tidak melalui mekanisme yaitu musyawara untuk mufakat. Dan pekerjaan sudah
berjalan kurang lebih 3 ½ tahun masyarakat adat suku yerisiam belum melakukan
kontrak kerja/ perjanjian (MOU) dengan pihak PT. Nabire Baru dengan alasan ijin
amdal belum diterbitkan namun pekerjaan dilapangan tetap berjalan.
Prediksi Dampak yang
akan terjadi:
-
Aspek lingkungan:
Berbicara soal dampak sudah barang
tentu sangat berdampak pada kerusakan lingkungan hidup, yang dan erosi banjir.
-
Aspek keamanan:
Pendekatan militer masih menjadi
praktek baku investasi dimana-mana. PT. Nabire Baru menggunakan aparat brimob
Polda Papua yang menjadi pengamanan PAM di perusahan tersebut. Kasus-kasus
kekerasan yang sudah terjadi dari sejak penempatan anggota PAM Brimob:
1. Pemukulan terhadap karyawan yang
sedang menuntut/ memprotes gaji yang tidak sesuai hasil kerja. Kasus ini
terjadi penyiksaan hingga korban mengeluarkan kotoran anus.
2. Pemukulan Titus Money saat menuntut gajinya yang ditahan. Korban adalah
karyawan yang juga adalah pemilik ulayat.
3. Sering melakukan pemalakan kayu
dijalan-jalan secara liar dan menuntut bayaran.
4. Berpeluang terhadap penciptaan
konflik yang lebih besar seperti konflik horizontal/ vertical, kasus wasior.
5. Kasus terbaru adalah pemukulan
terhadap wakil bupati.
-
Aspek Kesejahtraan
Sampai saat ini belum ada kontrak
kerja yang pada dasarnya mengatur hak dan kewajiban kedua belah pihak sehingga
tidak ada gambaran kesejahtraan bagi masyarakat adat suku yerisiam.
0 komentar:
Posting Komentar