Jumat, 04 Oktober 2013

Foto : Pembukaan Lahan Perkebunan Sawit Di Nabire


Sebelum jauh menjelaskan kerancuan yang terjadi terhadap pelepasan tanah adat suku yerisiam, sekilas kami menjelaskan struktur suku yerisiam. Dalam suku yerisiam terdapat empat  suku yaitu: suku waoha, suku akaba, suku, koroba, suku sarakwari.

Suku Waoha membawahi marga ( Hanebora, Money, Inggeruhi, refasi ), Suku Akaba membawahi marga (Yarawobi, Waropen, henawi, yoweni), suku sarakwari membawahi marga ( Akubar, nanaur, kowoi,), suku koroba membawahi( rumirawi, maniburi marariampi, waremuna,)

Dalam tugas dan fungsi empat suku adalah menjaga dan mengawasi batas-batas hukum adat sesuai garis hirarki kekuasaan guna kesejahtraan marga-marga. Empat suku ini pada kakekatnya tidak berkuasa atas peyerahan/ pelepasan apalagi penjualan hak kekayaan yang melekat hak-hak komunal dengan mengatasnamakan suku tanpa sepengetahuan kepala suku besar yerisiam/gua. Kewenangan dan tanggung jawab kuasa berada di suku besar yerisiam setelah terjadi sebuah musyawarah untuk mufakat. Suku yerisiam hingga abad 20 masih menganut system komunal dalam menentukan hak-hak bersama yang dikuasakan oleh garis paternal. Paham feodal hanya dijadikan sebagai sarana menghimpun, membimbing masyarakat adat suku yerisiam tapi tidak memiliki otoritas feto. Hak feto hanya dignakan saat situasi suku mengalami kondisi genting atau darurat.

Kerancuan Surat Pelepasan:
Dalam penyerahan tanah 17. 000 hektar yang dilakukan atas nama suku woha tidak melalui sebuah musyawara bersama hal yang terjadi adalah orang-perorang. Lebih parah lagi surat pelepasan yang kemudian dijadikan sebagai dasar dimasukannya perkebunan kelapa sawit tidak sesuai dengan isi dari surat pelepasan;

Point 4 surat pelepasan (terlampir):
Berdasarkan transaksi serah trimah pihak pertama selaku pewaris hak ulayat tanah adat telah menyerahkan areal seluas 17. 000 Ha beserta potensi alam yang ada diatas areal tersebut kepada pihak kedua dan pihak kedua berhak penuh untuk mengambil serta mengelola hasil, berupa kayu merbau yang berada diatas tanah adat milik pihak pertama.
Dari point tersebuat diatas nyata bahwa penyerahan tanah ulayat adat hanya untuk pengelolaan kayu merbau dan tidak diperuntukan untuk perkebunan sawit. Penggunaan surat pelepasan (terlampir) kemudian dipergunakan oleh pihak kedua dengan menjual/ atau menggadekan tanah tersebut kepada pihak perkebunan sawit yang hingga kini belum jelas statusnya. Hal lain adalah proses pelepasan tidak melalui mekanisme yaitu musyawara untuk mufakat. Dan pekerjaan sudah berjalan kurang lebih 3 ½ tahun masyarakat adat suku yerisiam belum melakukan kontrak kerja/ perjanjian (MOU) dengan pihak PT. Nabire Baru dengan alasan ijin amdal belum diterbitkan namun pekerjaan dilapangan tetap berjalan.
Prediksi Dampak yang akan terjadi:

-          Aspek lingkungan:
Berbicara soal dampak sudah barang tentu sangat berdampak pada kerusakan lingkungan hidup, yang dan erosi banjir.

-          Aspek keamanan:
Pendekatan militer masih menjadi praktek baku investasi dimana-mana. PT. Nabire Baru menggunakan aparat brimob Polda Papua yang menjadi pengamanan PAM di perusahan tersebut. Kasus-kasus kekerasan yang sudah terjadi dari sejak penempatan anggota PAM Brimob: 

1.      Pemukulan terhadap karyawan yang sedang menuntut/ memprotes gaji yang tidak sesuai hasil kerja. Kasus ini terjadi penyiksaan hingga korban mengeluarkan kotoran anus.  
2.      Pemukulan Titus Money saat  menuntut gajinya yang ditahan. Korban adalah karyawan yang juga adalah pemilik ulayat.
3.      Sering melakukan pemalakan kayu dijalan-jalan secara liar dan menuntut bayaran.
4.      Berpeluang terhadap penciptaan konflik yang lebih besar seperti konflik horizontal/ vertical, kasus wasior.
5.      Kasus terbaru adalah pemukulan terhadap wakil bupati.

-          Aspek Kesejahtraan
Sampai saat ini belum ada kontrak kerja yang pada dasarnya mengatur hak dan kewajiban kedua belah pihak sehingga tidak ada gambaran kesejahtraan bagi masyarakat adat suku yerisiam.


0 komentar:

Posting Komentar