Oleh : SP.Hanebora.
Mengapa rakyat Papua Barat masih tetap meneruskan perjuangan mereka?
Ada empat faktor yang mendasari keinginan rakyat Papua Barat
untuk memiliki negara sendiri yang merdeka dan berdaulat di luar
penjajahan manapun, yaitu:
1. hak
2. budaya
3. latarbelakang sejarah
4. realitas sekarang
Ada
empat faktor yang mendasari keinginan rakyat Papua Barat untuk memiliki
negara sendiri yang merdeka dan berdaulat di luar penjajahan manapun,
yaitu:
1. hak
Kemerdekaan adalah hak
berdasarkan Deklarasi Universal HAM (Universal Declaration on Human
Rights) yang menjamin hak-hak individu dan berdasarkan Konvenant
Internasional Hak-Hak Sipil dan Politik yang menjamin hak-hak kolektif
di dalam mana hak penentuan nasib sendiri (the right to
self-determination) ditetapkan.
Semua
bangsa memiliki hak penentuan nasib sendiri. Atas dasar mana mereka
bebas menentukan status politik mereka dan bebas melaksanakan
pembangunan ekonomi dan budaya mereka.External right to
self-determination yaitu hak penentuan nasib sendiri untuk mendirikan
negara baru di luar suatu negara yang telah ada. Contoh: hak penentuan
nasib sendiri untuk memiliki negara Papua Barat di luar negara
Indonesia. – Hak external penentuan nasib sendiri, atau lebih baiknya
penentuan nasib sendiri dari bangsa-bangsa, adalah hak dari setiap
bangsa untuk membentuk negara sendiri atau memutuskan apakah bergabung
atau tidak dengan negara lain, sebagian atau seluruhnya .
Jadi, rakyat
Papua Barat dapat juga memutuskan untuk berintegrasi ke dalam negara
tetangga Papua New Guinea. Perkembangan di Irlandia Utara dan Irlandia
menunjukkan gejala yang sama. Internal right to self-determination yaitu
hak penentuan nasib sendiri bagi sekelompok etnis atau bangsa untuk
memiliki daerah kekuasaan tertentu di dalam batas negara yang telah ada.
Suatu kelompok etnis atau suatu bangsa berhak menjalankan pemerintahan
sendiri, di dalam batas negara yang ada, berdasarkan agama, bahasa dan
budaya yang dimilikinya. Di Indonesia dikenal Daerah Istimewa Jogyakarta
dan Daerah Istimewa Aceh. Pemerintah daerah-daerah semacam ini biasanya
dilimpahi kekuasaan otonomi ataupun kekuasaan federal. Sayangnya,
Jogyakarta dan Aceh belum pernah menikmati otonomi yang adalah haknya.
2. budaya
Rakyat Papua Barat, per
definisi, merupakan bagian dari rumpun bangsa atau ras Melanesia yang
berada di Pasifik, bukan ras Melayu di Asia. Rakyat Papua Barat memiliki
budaya Melanesia. Bangsa Melanesia mendiami kepulauan Papua (Papua
Barat dan Papua New Guinea), Bougainville, Solomons, Vanuatu, Kanaky
(Kaledonia Baru) dan Fiji. Timor dan Maluku, menurut antropologi, juga
merupakan bagian dari Melanesia. Sedangkan ras Melayu terdiri dari Jawa,
Sunda, Batak, Bali, Dayak, Makassar, Bugis, Menado, dan lain-lain.
Menggunakan istilah ras di sini sama sekali tidak bermaksud bahwa saya
menganjurkan rasisme. Juga, saya tidak bermaksud menganjurkan
nasionalisme superior ala Adolf Hitler (diktator Jerman pada Perang
Dunia II). Adolf Hitler menganggap bahwa ras Aria (bangsa Germanika)
merupakan manusia super yang lebih tinggi derajat dan kemampuan
berpikirnya daripada manusia asal ras lain. Rakyat Papua Barat sebagai
bagian dari bangsa Melanesia merujuk pada pandangan Roethof sebagaimana
terdapat pada ad 1 di atas.
3. latar belakang sejarah
Kecuali
Indonesia dan Papua Barat sama-sama merupakan bagian penjajahan Belanda,
kedua bangsa ini sungguh tidak memiliki garis paralel maupun hubungan
politik sepanjang perkembangan sejarah. Analisanya adalah sebagai
berikut:
Pertama:
Sebelum
adanya penjajahan asing, setiap suku, yang telah mendiami Papua Barat
sejak lebih dari 50.000 tahun silam, dipimpin oleh kepala-kepala suku
(tribal leaders). Untuk beberapa daerah, setiap kepala suku dipilih
secara demokratis sedangkan di beberapa daerah lainnya kepala suku
diangkat secara turun-temurun. Hingga kini masih terdapat tatanan
pemerintahan tradisional di beberapa daerah, di mana, sebagai contoh,
seorang Ondofolo masih memiliki kekuasaan tertentu di daerah Sentani dan
Ondoafi masih disegani oleh masyarakat sekitar Yotefa di Numbai. Dari
dalam tingkat pemerintahan tradisional di Papua Barat tidak terdapat
garis politik vertikal dengan kerajaan-kerajaan kuno di Indonesia ketika
itu.
Kedua:
Rakyat Papua
Barat memiliki sejarah yang berbeda dengan Indonesia dalam menentang
penjajahan Belanda dan Jepang. Misalnya, gerakan Koreri di Biak dan
sekitarnya, yang pada awal tahun 1940-an aktif menentang kekuasaan
Jepang dan Belanda, tidak memiliki garis komando dengan gerakan
kemerdekaan di Indonesia ketika itu. Gerakan Koreri, di bawah pimpinan
Stefanus Simopiaref dan Angganita Menufandu, lahir berdasarkan kesadaran
pribadi bangsa Melanesia untuk memerdekakan diri di luar penjajahan
asing.
Ketiga:
Lamanya
penjajahan Belanda di Indonesia tidak sama dengan lamanya penjajahan
Belanda di Papua Barat. Indonesia dijajah oleh Belanda selama sekitar
350 tahun dan berakhir ketika Belanda mengakui kemerdekaan Indonesia
pada 27 Desember 1949. Papua Barat, secara politik praktis, dijajah oleh
Belanda selama 64 tahun (1898-1962).
Keempat:
Batas negara Indonesia menurut proklamasi kemerdekaan Indonesia pada 17
Agustus 1945 adalah dari »Aceh sampai Ambon«, bukan dari »Sabang sampai
Merauke«. Mohammed Hatta (almarhum), wakil presiden pertama RI dan
lain-lainnya justru menentang dimasukkannya Papua Barat ke dalam
Indonesia (lihat Karkara lampiran I, pokok Hindia Belanda oleh Ottis
Simopiaref).
Kelima:
Pada
Konferensi Meja Bundar (24 Agustus – 2 November 1949) di kota Den Haag
(Belanda) telah dimufakati bersama oleh pemerintah Belanda dan Indonesia
bahwa Papua Barat tidak merupakan bagian dari negara Republik Indonesia
Serikat (RIS). Status Nieuw-Guinea akan ditetapkan oleh kedua pihak
setahun kemudian. (Lihat lampiran II pada Karkara oleh Ottis
Simopiaref).
Keenam:
Papua Barat pernah mengalami proses dekolonisasi di bawah pemerintahan
Belanda. Papua Barat telah memiliki bendera national »Kejora«, »Hai
Tanahku Papua« sebagai lagu kebangsaan dan nama negara »Papua Barat«.
Simbol-simbol kenegaraan ini ditetapkan oleh New Guinea Raad / NGR
(Dewan New Guinea). NGR didirikan pada tanggal 5 April 1961 secara
demokratis oleh rakyat Papua Barat bekerjasama dengan pemerintah
Belanda. Nama negara, lagu kebangsaan serta bendera telah diakui oleh
seluruh rakyat Papua Barat dan pemerintah Belanda.
Ketujuh:
Dari
1 Oktober 1962 hingga 1 Mei 1963, Papua Barat merupakan daerah
perwalian PBB di bawah United Nations Temporary Executive Authority
(UNTEA) dan dari tahun 1963 hingga 1969, Papua Barat merupakan daerah
perselisihan internasional (international dispute region). Kedua aspek
ini menggaris-bawahi sejarah Papua Barat di dunia politik internasional
dan sekaligus menunjukkan perbedaannya dengan perkembangan sejarah
Indonesia bahwa kedua bangsa ini tidak saling memiliki hubungan sejarah.
Kedelapan:
Pernah
diadakan plebisit (Pepera) pada tahun 1969 di Papua Barat yang hasilnya
diperdebatkan di dalam Majelis Umum PBB. Beberapa negara anggota PBB
tidak setuju dengan hasil Pepera (Penentuan Pendapat Rakyat) karena
hanya merupakan hasil rekayasa pemerintah Indonesia. Adanya masalah
Papua Barat di atas agenda Majelis Umum PBB menggaris-bawahi nilai
sejarah Papua Barat di dunia politik internasional. Ketidaksetujuan
beberapa anggota PBB dan kesalahan PBB dalam menerima hasil Pepera
merupakan motivasi untuk menuntut agar PBB kembali memperbaiki sejarah
yang salah. Kesalahan itu sungguh melanggar prinsip-prinsip PBB sendiri.
(Silahkan lihat lebih lanjut pokok tentang Pepera dalam Karkara oleh
Ottis Simopiaref).
Kesembilan:
Rakyat Papua Barat, melalui pemimpin-pemimpin mereka, sejak awal telah
menyampaikan berbagai pernyataan politik untuk menolak menjadi bagian
dari RI. Frans Kaisiepo (almarhum), bekas gubernur Irian Barat, pada
konferensi Malino 1946 di Sulawesi Selatan, menyatakan dengan jelas
bahwa rakyatnya tidak ingin dihubungkan dengan sebuah negara RI (Plunder
in Paradise oleh Anti-Slavery Society). Johan Ariks (alm.), tokoh
populer rakyat Papua Barat pada tahun 1960-an, menyampaikan secara tegas
perlawanannya terhadap masuknya Papua Barat ke dalam Indonesia (Plunder
in Paradise oleh Anti-Slavery Society). Angganita Menufandu (alm.) dan
Stefanus Simopiaref (alm.) dari Gerakan Koreri, Raja Ati Ati (alm.) dari
Fakfak, L.R. Jakadewa (alm.) dari DVP-Demokratische Volkspartij,
Lodewijk Mandatjan (alm.) dan Obeth Manupapami (alm.) dari
PONG-Persatuan Orang Nieuw-Guinea, Barend Mandatjan (alm.), Ferry Awom
(alm.) dari Batalyon Papua, Permenas Awom (alm.), Jufuway (alm.), Arnold
Ap (alm.), Eliezer Bonay (alm.), Adolf Menase Suwae (alm.), Dr. Thomas
Wainggai (alm.), Nicolaas Jouwe, Markus Wonggor Kaisiepo dan
lain-lainnya dengan cara masing-masing, pada saat yang berbeda dan
kadang-kadang di tempat yang berbeda memprotes adanya penjajahan asing
di Papua Barat.
4. realitas sekarang
Rakyat
Papua Barat menyadari dirinya sendiri sebagai bangsa yang terjajah sejak
adanya kekuasaan asing di Papua Barat. Kesadaran tersebut tetap menjadi
kuat dari waktu ke waktu bahwa rakyat Papua Barat memiliki identitas
tersendiri yang berbeda dengan bangsa lain. Di samping itu, penyandaran
diri setiap kali pada identitas pribadi yang adalah dasar perjuangan,
merupakan akibat dari kekejaman praktek-praktek kolonialisme Indonesia.
Perlawanan menjadi semakin keras sebagai akibat dari (1) penindasan
yang brutal, (2) adanya ruang-gerak yang semakin luas di mana seseorang
dapat mengemukakan pendapat secara bebas dan (3) membanjirnya informasi
yang masuk tentang sejarah Papua Barat. Rakyat Papua Barat semakin
mengetahui dan mengenal sejarah mereka. Kesadaran merupakan basis untuk
mentransformasikan realitas, sebagaimana almarhum Paulo Freire (profesor
Brasilia dalam ilmu pendidikan) menulis. Semangat juang menjadi kuat
sebagai akibat dari kesadaran itu sendiri.
Pada
tahun 1984 terjadi exodus besar-besaran ke negara tetangga Papua New
Guinea dan empat pemuda Papua yaitu Jopie Roemajauw, Ottis Simopiaref,
Loth Sarakan (alm.) dan John Rumbiak (alm.) memasuki kedutaan besar
Belanda di Jakarta untuk meminta suaka politik. Permintaan suaka politik
ke kedubes Belanda merupakan yang pertama di dalam sejarah Papua Barat.
Gerakan yang dimotori Kelompok Musik-Tari Tradisional, Mambesak (bahasa
Biak untuk Cendrawasih) di bawah pimpinan Arnold Ap (alm.) merupakan
manifestasi politik anti penjajahan yang dikategorikan terbesar sejak
tahun 1969. Kebanyakan anggota Mambesak mengungsi dan berdomisili di
Papua New Guinea sedangkan sebagian kecil masih berada dan aktif di
Papua Barat.
Dr. Thomas
Wainggai (alm.) memimpin aksi damai besar pada tanggal 14 Desember 1988
dengan memproklamirkan kemerdekaan negara Melanesia Barat (Papua Barat).
Setahun kemudian pada tanggal yang sama diadakan lagi aksi damai di
Numbai (nama pribumi untuk Jayapura) untuk memperingati 14 Desember. Dr.
Thom Wainggai dijatuhkan hukuman penjara selama 20 tahun, namun beliau
kemudian meninggal secara misterius di penjara Cipinang. Papua Barat
dilanda berbagai protes besar-besaran selama tahun 1996. Tembagapura
bergelora bagaikan air mendidih selama tiga hari (11-13 Maret). Numbai
terbakar tanggal 18 Maret menyusul tibanya mayat Thom Wainggai. Nabire
dijungkir-balik selama 2 hari (2-3 Juli). Salah satu dari aksi damai
terbesar terjadi awal Juli 1998 di Biak, Numbai, Sorong dan Wamena,
kemudian di Manokwari.
Salah
satu pemimpin dari gerakan bulan Juli 1998 adalah Drs. Phillip Karma.
Drs. P. Karma bersama beberapa temannya sedang ditahan di penjara
Samofa, Biak sambil menjalani proses pengadilan. Gerakan Juli 1998
merupakan yang terbesar karena mencakup daerah luas yang serentak
bergerak dan memiliki jumlah massa yang besar. Gerakan Juli 1998
terorganisir dengan baik dibanding gerakan-gerakan sebelumnya. Di
samping itu, Gerakan Juli 1998 dapat menarik perhatian dunia melalui
media massa sehingga beberapa kedutaan asing di Jakarta menyampaikan
peringatan kepada ABRI agar menghentikan kebrutalan mereka di Papua
Barat. Berkat Gerakan Juli 1998 Papua Barat telah menjadi issue yang
populer di Indonesia dewasa ini.
Di samping sukses yang telah dicapai terdapat duka yang paling dalam
bahwa menurut laporan dari PGI (Persekutuan Gereja Indonesia) lebih dari
140 orang dinyatakan hilang dan kebanyakan mayat mereka telah ditemukan
terdampar di Biak. Menurut laporan tersebut, banyak wanita yang
diperkosa sebelum mereka ditembak mati. Realitas penuh dengan represi,
darah, pemerkosaan, penganiayaan dan pembunuhan, namun perjuangan tetap
akan dilanjutkan. Rakyat Papua Barat menyadari dan mengenali realitas
mereka sendiri. Mereka telah mencicipi betapa pahitnya realitias itu.
Mereka hidup di dalam dan dengan suatu dunia yang penuh dengan
ketidakadilan, namun kata-kata Martin Luther King masih disenandungkan
di mana-mana bahwa »We shall overcome someday!« (Kita akan menang suatu
ketika!).
Masa depan:
Tidak diikut-sertakannya rakyat Papua Barat sebagai subjek masalah di
dalam Konferensi Meja Bundar, New York Agreement yang mendasari Act of
Free Choice, Roma Agreement dan lain-lainnya merupakan pelecehan hak
penentuan nasib sendiri yang dilakukan oleh pemerintah (state violence)
dalam hal ini pemerintah Indonesia dan Belanda. (Untuk Roma Agreement,
silahkan melihat lampiran pada Karkara oleh Ottis Simopiaref). Rakyat
Papua Barat tidak diberi kesempatan untuk memilih secara demokratis di
dalam Pepera. Act of Free Choice disulap artinya oleh pemerintah
Indonesia menjadi Pepera. Di sini terjadi manipulasi pengertian dari Act
of Free Choice (Ketentuan Bebas Bersuara) menjadi Penentuan Pendapat
Rakyat (Pepera). Ortiz Sans sebagai utusan PBB yang mengamati jalannya
Pepera melaporkan bahwa rakyat Papua Barat tidak diberikan kebebasan
untuk memilih. Ketidakseriusan PBB untuk menerima laporan Ortiz Sans
merupakan pelecehan hak penentuan nasib sendiri. PBB justru melakukan
pelecehan HAM melawan prinsip-prinsipnya sendiri. Ini merupakan motivasi
di mana rakyat Papua Barat akan tetap berjuang menuntut pemerintah
Indonesia, Belanda dan PBB agar kembali memperbaiki kesalahan mereka di
masa lalu. Sejak pencaplokan pada 1 Mei 1963, pemerintah Indonesia
selalu berpropaganda bahwa yang pro kemerdekaan Papua Barat hanya
segelintir orang yang sedang bergerilya di hutan. Tapi, Gerakan Juli
1998 membuktikan yang lain di mana dunia telah menyadari bahwa jika
diadakan suatu referendum bebas dan adil maka rakyat Papua Barat akan
memilih untuk merdeka di luar Indonesia. Rakyat Indonesia pun semakin
menyadari hal ini.
Menurut
catatan sementara, diperkirakan bahwa sekitar 400 ribu orang Papua
telah meninggal sebagai akibat dari dua hal yaitu kebrutalan ABRI dan
kelalaian politik pemerintah. Sadar atau tidak, pemerintah Indonesia
telah membuat sejarah hitam yang sama dengan sejarah Jepang, Jerman,
Amerikat Serikat, Yugoslavia dan Rwanda. Jepang kemudian memohon maaf
atas kebrutalannya menduduki beberapa daerah di Asia-Pasifik pada tahun
1940-an. Sentimen anti Jerman masih terasa di berbagai negara Eropa
Barat.
Ini membuat para pemimpin dan orang-orang Jerman menjadi kaku
jika mengunjungi negara-negara yang pernah didukinya, apalagi ke Israel.
Berbagai media di dunia pada 4 Desember 1998 memberitakan penyampaian
maaf untuk pertama kali oleh Amerika Serikat (AS) melalui menteri
luarnegerinya, Madeleine Albright.
“Amerika Serikat menyesalkan
»kesalahan-kesalahan yang amat sangat« yang dilakukannya di Amerika
Latin selama perang dingin”, kata Albright. AS ketika itu mendukung para
diktator bersama kekuatan kanan yang berkuasa di Amerika Latin di mana
terjadi pembantaian terhadap berjuta-juta orang kiri. Semoga Indonesia
akan bersedia untuk merubah sejarah hitam yang ditulisnya dengan memohon
maaf kepada rakyat Papua Barat di kemudian hari. Satu per satu para
penjahat perang di bekas Yugoslavia telah diseret ke Tribunal Yugoslavia
di kota Den Haag, Belanda. Agusto Pinochet, bekas diktator di Chili,
sedang diperiksa di Inggris untuk diekstradisikan ke Spanyol. Dia akan
diadili atas terbunuhnya beribu-ribu orang selama dia berkuasa di Chili.
Suatu usaha sedang dilakukan untuk mendokumentasikan identitas dan
kebrutalan para pemimpin ABRI di Papua Barat.
Dokumentasi
tersebut akan digunakan di kemudian hari untuk menyeret para pemimpin
ABRI ke tribunal di Den Haag. Akhir tahun ini (1998) dunia membuka mata
terhadap beberapa daerah bersengketa (dispute regions), yaitu Irlandia
Utara, Palestina dan Polisario (Sahara Barat). Kedua pemimpin di
Irlandia Utara yang masih dijajah Inggris menerima Hadiah Perdamaian
Nobel (Desember 1998). Bill Clinton, presiden Amerikat, yang mengunjungi
Palestina, tanggal 14 Desember 1998, mendengar pidato dari Yaser Arafat
bahwa daerah-daerah yang diduki di Palestina harus ditinggalkan oleh
Israel. Sekretaris Jenderal PBB, Kofi Annan, yang mengadakan tour di
Afrika Utara mampir di Aljasaria untuk mencoba menengahi konflik antara
Front Polisario dan Maroko. Front Polisario dengan dukungan Aljasaria
masih berperang melawan Maroko yang menduduki Polisario (International
Herald Tribune, Nov. 30, 1998). Mengapa ada konflik di Irlandia Utara,
Palestina dan Polisario? Karena rakyat-rakyat di sana menuntut hak
mereka dan memiliki budaya serta latar-belakang sejarah yang berbeda
dari penjajah yang menduduki negeri mereka.
Realitas
sekarang menunjukkan bahwa rakyat-rakyat di sana masih tetap berjuang
untuk membebaskan diri dari penjajahan. Realitas sekarang di Papua Barat
membuktikan adanya perlawanan rakyat menentang penjajahan Indonesia.
Ini merupakan manifestasi dari makna faktor-faktor budaya,
latar-belakang sejarah yang berbeda dari Indonesia dan terlebih hak
sebagai dasar hukum di mana rakyat Papua Barat berhak untuk merdeka di
luar Indonesia.
Sejarah Papua Barat telah menjadi
kuat, sarat, semakin terbuka dan kadang-kadang meledak. Perjuangan
kemerdekaan Papua Barat tidak pernah akan berhenti atau dihentikan oleh
kekuatan apapun kecuali ketiga faktor (hak, budaya dan latarbelakang
sejarah) tersebut di atas dihapuskan keseluruhannya dari kehidupan
manusia bermartabat. Rakyat Papua Barat akan meneruskan perjuangannya
untuk menjadi negara tetangga yang baik dengan Indonesia. Rakyat Papua
Barat akan meneruskan perjuangannya untuk menjadi bagian yang setara
dengan masyarakat internasional. Perjuangan akan dilanjutkan hingga
perdamaian di Papua Barat tercapai. Anak-anak, yang orang-tuanya dan
kakak-kakaknya telah menjadi korban kebrutalan ABRI tidak akan hidup
damai selama Papua Barat masih merupakan daerah jajahan.
Mereka
akan meneruskan perjuangan kemerdekaan Papua Barat. Mereka akan
meneriakkan pekikan Martin Luther King, pejuang penghapusan perbedaan
warna kulit di Amerka Serikat, “Lemparkan kami ke penjara, kami akan
tetap menghasihi. Lemparkan bom ke rumah kami, dan ancamlah anak-anak
kami, kami tetap mengasihi”. Rakyat Papua Barat mempunyai sebuah mimpi
yang sama dengan mimpinya Martin Luther King, bahwa »kita akan menang
suatu ketika«.
0 komentar:
Posting Komentar